Saya
sangat sadar bahwa judul tulisan kali ini akan menimbulkan banyak pertanyaan,
mengapa, bagaimana dan kenapa judul
itu dapat kemudian saya tulis dan saya curahkan ke dalam blog ini, semata-mata hanya untuk evaluasi diri, evaluasi cara hidup dan gaya hidup diri, evaluasi terhadap apa yang telah dilalui oleh diri dalam kehidupan ini.
itu dapat kemudian saya tulis dan saya curahkan ke dalam blog ini, semata-mata hanya untuk evaluasi diri, evaluasi cara hidup dan gaya hidup diri, evaluasi terhadap apa yang telah dilalui oleh diri dalam kehidupan ini.
Dini
hari tadi saya membaca status yang ditulis oleh salah satu teman facebook yang
mengatakan bahwa Ilmu adalah Makanan Bagi Jiwa, ungkapan itu ia kutip
dari seorang filsuf Yunani Plato, dari tulisan itu kemudian timbullah keinginan
saya untuk mengungkapkan sedikit ilmu yang saya punya dengan harapan
dapat menjadi makanan jiwa, bagi diri saya sendiri khususnya dan untuk
yang membaca tulisan ini pada umumnya.
Banyak
hal dalam hidup ini yang seolah menjadi beban dalam hidup, bahkan tidak pernah
disadari bahwa beban yang kita anggap beban itu sebenarnya bukanlah beban,
bukanlah sesuatu yang dapat membebani pikiran dan cara pikir kita, sebaliknya
bahwa yang kita anggap beban itu adalah bentuk kasih sayang Tuhan kepada kita,
namun sama sekali tidak kita sadari.
Apa
yang telah kita lakukan, apa yang sudah menjadi kebiasaan kita dalam hidup,
sehingga membuat kita menjadi orang yang mudah menyimpulkan sesuatu yang belum
tentu kebenarannya, menjadikan kita sebagai orang yang arogan dan egois serta
jauh dari perilaku altruistik. Padahal manusia adalah zoon politicon,
butuh kepada makhluk lain, ingin dan harus bergaul dengan makhluk lain, serta
membutuhkan pertolongan dan keterlibatan makhluk lain, untuk hal itu maka
perilaku egois seharusnya dikubur dalam-dalam, tanamkan perilaku altruistik
dalam jiwa sebagai bentuk bahwa ilmu itu telah benar-benar memberikan makanan
kepada jiwa kita.
Tak
perlu kita berfikir apakah orang yang ada disekitar kita lebih baik dari diri
kita, tak usah kita peduli dan apalagi membicarakan orang lain apakah ia
sukses, berhasil, kaya raya, harta melimpah, semuai keinginan terpenuhi dan
sebagainya, yang harus kita pikirkan dan lakukan adalah bagaimana kita
memperbaiki diri, bagaimana kita menjadikan diri sebagai manusia yang tangguh
dan jauh dari hal negatif, bagaimana kita menempatkan diri pada tempat yang
sebenarnya dan temapt itu memang layak untuk kita tempati, tidak malah
sebaliknya.
Masih
banyak manusia diluar sana yang lebih tidak baik keadaannya dari kita, mereka
yang dalam kesehariannya tidak memliki harta yang melimpah, masih dapat
bersyukur dengan lisan yang khusyu’ kepada Tuhan bahwa setiap hari nikmat-Nya
masih terus mereka terima berupa makanan yang cukup, mereka yang berada dibawah
garis kemiskinan pun selalu dan senantasa bersyukur dan tidak pernah mengeluh,
bahwa nikmat hidup berupa kesehatan yang mereka terima setiap hari tak pernah
mereka sia-siakan untuk tidak melakukan hal-hal yang bernilai ibadah kepada Tuhan,
bagaimana dengan kita ???
Harta, tahta, derajat dan martabat yang menjadi impian telah kita
nikmati setiap hari tanpa rasa syukur, Tuhan pun tidak pernah protes kepada
manusia mengapa manusia jarang sekali bersyukur, padahal nikmat Tuhan tanpa
henti terus mengalir kepada manusia. Jika kita bandingkan dengan mereka yang
berada di bawah kita, maka apa yang kita lakukan, apa yang kita rasakan, apa
yang telah kita nikmati tidak bernilai apa-apa, rasa syukur mereka jauh lebih
indah dan khusyu’ dikumandangkan setiap detik kepada Sang Pemberi Nikmat,
berbeda dengan kita yang seringkali mengeluh, berandai-andai kepada hal-hal
yang negatif, memikirkan sesuatu yang seolah-olah mendahului Kehendak Yang Maha
Menghendaki, memang pada fitrahnya manusia dijadikan dalam keadaan yang
seringkali dan suka mengeluh, inna-al insa>a>na khuliqa halu^a>. Wallahu
‘a’lam.
No comments:
Post a Comment